Roti yang kupegang tidak terasa sudah habis, aku ingin
memakan selai stroberi yang kusisihkan untuk kunikmati paling akhir. Sayangnya,
aku hanya melihat kertas roti kosong yang tadinya selai stroberiku berada
diatasnya. Aku menoleh ke arah ibu dan bertanya kemana selai stroberiku
menghilang. Ibuku pun menjawab kalau selai stroberinya sudah habis beliau
makan. Aku kaget dan marah mendengarnya. Aku pun kesal dan masuk ke dalam kamar
dan menangis sambil memeluk guling.
Ibu menyusulku ke kamar. Ibu yang selalu memanjakanku,
sangat merasa bersalah ketika mengetahui telah menyakiti hatiku. Beberapa kali ibu
menenangkan emosiku dengan merayu-rayu dan menjanjikan roti gulung yang sama di
keesokan hari. Aku tidak bisa menerima tawaran itu, Bagiku, selai stroberi yang
tadi kusisihkan tidak dapat tergantikan walaupun satu kardus roti gulung
stroberi lainnya. Gagal mendapatkan hatiku, Ibu akhirnya meninggalkanku yang
kemudian lelap tertidur.
Selama dua hari setelah malam itu, aku tidak pernah berbicara
dengan ibu. Aku masih kesal dan sedih sehingga aku selalu cuek ketika ibu berusaha
ngobrol denganku. Di hari kedua, Ibu memberiku 1 kotak berisi satu gulung roti
isi selai stroberi yang belum dipotong-potong. Aku menolak pemberian ibu dan kembali
menangis karena teringat selai stroberi yang harusnya kumakan malam itu. Entah,
emosi itu berlangsung dan berakhir sampai kapan, aku lupa.
Kini, setelah aku beranjak dewasa, Aku menyadari bahwa waktu
itu aku kesal dan sedih bukan perkara rasa enak selai stroberi yang ingin aku
nikmati. Tetapi tentang usahaku untuk menyimpan sesuatu dengan baik, menjaganya
dengan baik, namun orang lain tidak mengapresiasi usahaku atau bahkan menghancurkannya.
Aku merasa tumbuh dewasa dengan kebutuhan apresiasi yang sedikit di atas rata-rata
kebanyakkan orang. Aku adalah anak tunggal yang selalu menjadi kebanggaan orang
tua, tidak pernah dibanding-bandingkan, selalu mendapat perhatian atau hadiah,
yang mungkin tidak bisa dirasakan oleh seseorang yang memiliki saudara kandung.
Sehingga, ketika ada momen aku kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka emosi yang
akan muncul. Dulu, aku yang masih kecil tidak bisa mengekspresikan emosi itu
sehingga hanya dapat kesal dan menangis. Namun kini, aku sadar bahwa masalah
roti gulung bisa diselesaikan dengan roti gulung lainnya, emosi sesaat tersebut
sebenarnya bisa ditekan sehingga membuatku mampu mengontrol sikap ketika hal
serupa terjadi lagi nanti.
Semoga seiring berjalannya waktu, kita semakin bijak terhadap masalah-masalah yang menghampiri, terutama untuk emosi diri kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar