Beberapa waktu lalu, adik-adik tingatku mengeluh terhadap
ketidakjelasan keputusan terhadap masa depan mereka. Saat itu, mereka menunggu kepastian
kapan mereka akan diangkat dan dipekerjakan menjadi abdi negara. Latar belakang
mayoritas dari mereka adalah alasan ekonomi. Pandemi ini berdampak parah terhadap
keadaan ekonomi masyarakat, termasuk keluarga mereka. Mereka yang sudah berharap
bisa membantu ekonomi keluarga dengan bekerja, malah digantung tanpa kejelasan.
Di waktu yang hampir bersamaan, aku dan teman-temanku yang tahun
lalu sudah diangkat menjadi ASN, juga mengeluh. Bedanya, kami mengeluh terhadap
pekerjaan yang harus diselesaikan terlalu banyak jumlahnya. Selain itu,
beberapa pekerjaan tersebut telah mendekati batas terakhir pekerjaan itu harus
selesai. Sehingga kami banyak menghabiskan waktu yang seharusnya bisa digunakan
untuk hal-hal lain. Work-life balance yang ideal, itu semua hanya khayalan
belaka.
Ah, andai saja aku dan teman-temanku melihat keadaan
adik-adik tingkatku yang masih tidak jelas statusnya, maka kami pasti bersyukur
dengan pekerjaan yang menyita waktu dan kesulitan ini. Andai saja kami melihat
masyarakat yang jatuh miskin dan menderita hidupnya karena pandemi, maka kami pasti
bersyukur karena tiap bulan gaji kami tidaklah berkurang. Andai juga adik-adik
kami melihat teman seumurannya yang tidak tau setelah lulus mau bekerja dimana,
maka mereka pasti akan bersyukur karena sudah pasti akan diangkat menjadi ASN
walaupun entah kapan.
Akan selalu ada alasan untuk tetap bersyukur. Posisi atau keadaan
yang kita keluhkan saat ini, bisa jadi adalah keadaan yang dimimpikan oleh
orang lain. Mengeluh adalah pilihan.
Komentar
Posting Komentar