Pagi hari kami segera untuk mandi dan packing
perlengkapan yang sudah kami pinjam. Datanglah ibunya Wisnu membawakan 2 nasi
bungkus beserta teh manis hangat, alhamdulillah. Cuaca pagi itu cerah, secerah
semangat kami memulai pendakian. Pukul 08.30 WITA kami bergegas menuju kantor
TNGR untuk registrasi. Tak lupa kami berpamitan kepada keluarga Wisnu dan
menitipkan beberapa barang yang kami tidak bawa ke pendakian. Kami juga mampir
ke sebuah warung makan untuk membeli nasi bungkus sebagai makan siang ketika perjalanan
menuju Plawangan Sembalun. Target kami hari ini adalah mencapai Plawangan
Sembalun sebelum matahari terbenam.
Setelah mengurus simaksi dengan memperlihatkan barcode pada aplikasi eRinjani, kami diberi briefing singkat. Masih ingat dengan keterlambatan kami karena delay pesawat kemarin? Nah, ternyata kami juga diizinkan untuk menambah durasi pendakian kami yang tadinya hanya 2 hari 1 malam, menjadi 3 hari 2 malam. Kami berencana mampir ke danau Segara Anak sekalian, kapan lagi coba bisa ke Rinjani lagi. Kata petugas TNGR "yasudah gapapa, asal kalian pulang dengan selamat", dengan mantap kami jawab "siap Pak, terimakasih banyak". Sebelumnya Wisnu juga bercerita kalau misal ada tamu Rinjani yang dari jauh, seperti kami, petugas TNGR lebih fleksibel terkait aturan jadwal pendakian. Setelah semua siap, kami berangkat memulai pendakian Rinjani pada pukul 09.00 WITA.
Kami menuju desa Bawa Nao, pintu masuk kawasan Rinjani, dengan menggunakan mobil pickup. Biaya sewa mobil yang kami naiki sebesar 150ribu untuk kami berdua. Setelah itu kami menggunakan jasa ojek gunung untuk langsung menuju Pos 2. Perjalanan tanpa menggunakan ojek dari Bawa Nao menuju Pos 2 ditempuh dalam waktu 3 jam, sedangkan dengan ojek kami pangkas menjadi 30 menit saja. Biaya ojek menuju Pos 2 sebesar 150ribu untuk satu orang. Ojek rinjani juga menyanggupi membawa tas kerir saja tanpa penumpang, tentunya dengan harga yang lebih murah. Menurut kami , menggunakan jasa ojek menuju Pos 2 ini wajib, melihat jarak Bawa Nao ke Pos 2 itu hampir setengah dari jarak Bawa Nao menuju Plawangan Sembalun. Selain menghemat waktu dan tenaga, hitung-hitung juga berbagi rezeki kepada warga sekitar dengan menggunakan jasanya. Tiga puluh menit berlalu, kami sampai di Pos 2.
Pos 2 berada di tengah-tengah savana yang sangat
luas. Sejauh mata memandang hanya terlihat rerumputan di lekukan-lekukan bukit
yang indah. Pos 2 juga terdapat mata air yang melimpah. Setelah cukup menikmati
pemandangan, kami berdoa dan hendak melanjutkan perjalanan ke pos 3. Ternyata,
di Pos 2 terdapat pos jaga TNGR juga yang memeriksa kode booking kami. Bagi
pendaki yang tidak dapat menunjukkan kode bookingnya, maka mereka dipaksa untuk
kembali. Kami sempat kesulitan menunjukkan kode booking kami di aplikasi
eRinjani karena sinyal yang kurang lancar. Kami sarankan untuk screenshot kode
booking sebelum memulai pendakian untuk memudahkan pemeriksaan. Seusai
menunjukkan kode booking, kami diberi briefing lagi mengenai jalur pendakian.
Petugas TNGR juga sempat menanyakan apakah kami memakai jasa porter. Kami tidak
memakai jasa porter dan pada akhirnya kami menyesal. Harga jasa porter Rinjani
sebesar 250ribu/hari. Jadi apabila pendaki berencana 2 hari 1 malam, maka biaya
jasa porternya sebesar 500ribu. Tugas porter yang disewa adalah membawa barang
bawaan kita, memasak, mendirikan tenda, serta mencari air. Intinya, dengan
menyewa porter kita tinggal jalan saja, tidak perlu khawatir makan apa, tenda
sudah siap apa belum dan lain-lain. Oiya, bahan makanan yang dimasak porter
disiapkan oleh pendaki. Kami merekomendasikan memakai jasa porter ketika
mendaki gunung Rinjani, serius.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Jalur
pendakian dari Pos 2 menuju Pos 3 mayoritas merupakan jalur perbukitan savana.
Jalur disini tergolong mudah karena hanya menaiki dan turun bukit saja. Selain
itu, mata juga akan dimanjakan dengan savana yang luas membentang. Apabila
sedang cerah, maka terik matahari kian terasa sehingga memakai topi adalah
pilihan yang sangat tepat. Setelah melewati 3/4 dari sisa jalur menuju Pos 3,
terdapat jalur rusak karena gempa Lombok 2018. Gempa tersebut menyisakan sebuah
tebing dengan jurang yang lumayan dalam. Terdapat garis batas pendaki agar
tidak melewati jalur tersebut dan dialihkan ke jalur yang baru. Setelah
melewatinya, terdapat tebing yang lumayan curam yang harus kami naiki dengan
tali webbing. Setelah itu, kami memutari punggungan bukit, melewati beberapa
bukit lagi dan akhirnya kami sampai di Pos 3.
Kami tiba di Pos 3 pada pukul 12.00 WITA. Pos 3 merupakan campsite selain Plawangan Sembalun. Pos 3 memiliki area yang cukup luas dan memiliki 2 gazebo. Di pos 3 juga terdapat warung yang menjual semangka, minuman botol, juga minuman sachet. Kami memutuskan untuk makan nasi bungkus yang tadi kami bawa. Selain itu kami juga melaksanakan sholat jama' dhuhur ashar di Pos 3. Kami berjumpa dengan banyak sekali pendaki, baik yang sedang perjalanan naik maupun yang baru turun dari Plawangan Sembalun. Berdasarkan catatan perjalanan yang kami baca, pendakian Rinjani via Sembalun yang sebenarnya adalah setelah pos 3 ini. Arti kata "padabalong" pada nama Pos 3 ini memiliki arti kurang lebih "menyiapkan tenaga". Setelah pos 3 jalur pendakian hanya berisi tanjakan, tanjakan dan tanjakan. Jalur pendakian setelah pos 3 ini juga kerap disebut sebagai "bukit penyesalan".
Jam di ponsel kami menunjukkan waktu pukul 13.30 WITA. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 4, Pos extra. Benar saja, kami langsung dihadapkan satu bukit yang cukup curam. Ada banyak tali webbing dan tangga bantuan untuk memudahkan pendakian menaiki bukit tersebut. Setelah susah payah menaiki bukit tersebut, kami dihadapkan bukit berikutnya. Kali ini suasana lebih terbuka daripada bukit sebelumnya yang di dalam hutan. Tetapi mau bagaimanapun suasananya, bukit tetaplah bukit, rasa lelahnya sama saja di kaki. Kami beberapa kali berhenti berisirahat untuk meminum beberapa teguk air. Kami membawa 6 botol air mineral ukuran 1,5 liter dalam 2 buah tas kerir dan 1 buah tas ransel untuk perjalanan kali ini. Hingga tepat di bukit kesekian kalinya, istri mengeluh karena tas kerirnya memberatkan langkah kakinya. Singkat cerita, kami sepakat untuk bertukar tas. Saya membawa 2 tas kerir, depan dan belakang, sedangkan istri membawa tas ransel. Perjalanan kami lanjutkan. Bukit demi bukit kami lewati walaupun dengan sering berhenti beristirahat dan berjalan dengan tempo yang lambat. Akhirnya kami sampai di Pos 4, Pos Extra.
Kami sampai di Pos 4 sekitar pukul 15.00 WITA. Kami kurang yakin jam berapa kami sampai karena kami tidak sempat melihat jam di pos ini. Pos 4 terdiri dari 2 gazebo yang berdekatan. Namun 1 gazebo terlihat rusak karena atapnya telah hilang, mungkin terterpa angin kencang. Kami bertemu juga dengan beberapa pendaki lain, baik yang dari bawah maupun dari atas. Kami sempat mengobrol dengan beberapa pendaki dan memperoleh kesaksian bahwa bukit-bukit yang telah kami lewati tadi tidak ada apa-apanya dengan bukit yang akan kami lewati setelah pos 4. Setelah pos 4 ini adalah "bukit penyesalan" yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, kami tidak terlalu lama beristirahat di pos 4 dan segera melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya, yakni Plawangan Sembalun.
Kami segera menyadari bahwa bukit yang kami lewati saat ini adalah jauh lebih sulit dari Pos 3 menuju Pos 4. Banyak sekali trek curam, banyak sekali tali webbing dimana-mana, banyak sekali tangga bantuan di beberapa titik curam. Pada titik inilah kami menyadari dan menyesal kenapa tidak memakai jasa porter. Kami juga menyesalkan kenapa hanya mendaki berdua saja, sehingga distribusi barang bawaan cukup memberatkan. Mulai dari pos 4, terhitung kami hanya menaiki 1 bukit yang tidak ada habisnya. Hingga kami melihat sebuah puncak bukit diujung jalur, kami lebih semangat untuk mencapainya. Oiya, mulai dari pos 4 tadi juga, trek pendakian mulai memasuki hutan yang tidak terlalu rimbun. Di sisi kiri, kami terlihat puncak Rinjani yang gagah menunggu siapapun menapakkan kakinya di gunung api tertinggi kedua di Indonesia. Tibalah kami sampai di puncak bukit yang kami dambakan dari bawah tadi. Tetapi sayangnya, itu bukanlah puncak bukit yang kami harapkan sebelumnya. Dari sini kami belok ke arah kanan menuju puncak bukit berikutnya, yaampun.
Pukul 16.30 kami masih mendaki bukit yang entah keberapa kalinya. Semakin keatas, semakin curam dan semakin banyak tali webbing tersebar di beberapa titik jalur. Plawangan Sembalun kian terlihat seiring kami mencapai titik yang lebih tinggi. Kami juga mulai berjumpa dengan beberapa kera baik di pepohonan maupun di kiri kanan jalur pendakian. Mereka hanya memperhatikan para pendaki yang mulai kelelahan berjalan. Matahari juga mulai terbenam di ufuk barat. Malam pun tiba, dan kami belum mencapai Plawangan Sembalun. Kami mengeluarkan headlamp untuk menerangi jalur pendakian kami. Kami masih harus melewati tali-tali webbing dan tangga bantuan hingga pukul 19.00 WITA kami sampai di Plawangan Sembalun. Kami langsung merebahkan badan kami sesaat setelah sampai di Plawangan Sembalun. Kami melihat langit malam yang tidak begitu banyak bintang karena saat itu bentuk bulan sedang sempurna. Lega sekali kami dapat sampai di Plawangan Sembalun setelah menempuh bukit penyesalan yang luar biasa melelahkan. Terasa angin semakin kuat menerpa badan kami. Selain hari sudah malam, posisi kami saat ini adalah di puncak bukit yang apabila kami menengok lurus kedepan, terlihat danau Segara Anak di bawah sana. Memang benar kata orang, Rinjani adalah gunung paling cantik di Indonesia.
Kami bergegas menuju tempat mendirikan tenda yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Kami masih harus berjalan sedikit lagi ke dekat menara sinyal. Disana terdapat beberapa tenda yang sudah berdiri. Kami mencari lokasi yang enak untuk mendirikan tenda, dan dapatlah tempat di samping tenda para porter. Salah satu dari porter berkata "ketiduran di jalur mas? mas ini yang tadi ketemu di pos 4 kan ya?" Saya menjawab dengan tertawa saja sembari mengeluarkan tenda dari dalam tas kerir. Melihat kami yang hanya berdua saja sedang mendirikan tenda dan udara semakin dingin, salah satu porter lainnya menawari kopi kepada kami. "Ada gelas gak mas? Nih saya kasih kopi. Adanya kopi aja, kalo teh gak ada". Kami berterimakasih atas kebaikan beliau namun tidak mengiyakan tawaran tersebut, bapak itupun tidak memaksa. Tenda sudah berdiri, kami segera memasukkan semua bawaan kami ke dalam tenda. Kami segera memasak air untuk menyeduh jahe hangat instan dan memasak h-eat. Pendakian kali ini kami tidak membawa bahan makanan seperti beras, sayur dan lainnya. Kami hanya membawa minuman sachet, roti, mi instan dan snack saja. Untuk makanan berat, kami hanya mengandalkan h-eat saja.
Malam di Plawangan Sembalun tidak sedingin yang kami kira. Kondisi angin juga tidak terlalu kencang. Sebelum tidur, kami berdiskusi apakah nanti malam kami akan mengejar puncak Rinjani atau tidak. Pertimbangan kami adalah rasa lelah yang kami rasakan selama perjalanan menuju Plawangan Sembalun. Ditambah masih ada sisa 2 hari lagi kami berada di Rinjani, sehingga apabila kami memutuskan istirahat dan tidur sampai pagi, kami bisa mengejar puncak pada keesokan harinya lagi. Namun pada akhirnya kami sepakat untuk melihat kondisi nanti dini hari seperti apa. Apabila kami masih lelah dan ngantuk berat, maka kami akan menunda perjalanan ke puncak keesokan harinya. Tapi apabila kondisi fisik membaik dan kami yakin sanggup berjalan, maka kami akan mengejar puncak dini hari nanti. Perasaan dan fisik yang lelah membuat kami ingin pulang secepatnya. Akhirnya pukul 21.00 WITA kami beristirahat dan tidur.
Selasa, 19 Oktober
2021
Pukul 01.00 WITA dini hari kami terbangun. Kondisi luar tenda cukup ramai karena banyak pendaki yang sedang bersiap melakukan perjalanan ke puncak Rinjani. Cuaca pada saat itu juga sangat cerah sekali. Ketika kami membuka tenda, kami bisa melihat langit yang bersih, pun tidak berangin kencang. Kami berdiskusi sejenak, apakah malam ini kami akan summit atau melanjutkan istirahat. Kondisi fisik saat itu cukup bugar walaupun hanya istirahat 4 jam saja. Akhirnya, Kami memutuskan untuk mengejar puncak malam ini juga. Kami menyiapkan perbekalan untuk kami bawa serta memasak air. Kami menyeduh segelas energen untuk kami berdua sebagai "sarapan" dan mengurangi hawa dingin yang kami rasakan. Setelah semua siap, kami keluar tenda dan melakukan pemanasan sedikit. Kami berpesan kepada salah satu bapak porter yang sedang terjaga, meminta tolong menjaga tenda kami dari para kera selama kami tinggal. Bapak porter tersebut mengiyakan permintaan kami tetapi tidak janji akan selalu menjaga tenda kami, mengingat beliau juga butuh istirahat dan menjaga tenda tamunya yang letaknya agak jauh. Pukul 01.30 WITA kami memulai perjalanan menuju puncak. Lima menit pertama dari tenda, jalur masih diisi savana terbuka. Kiri jalur merupakan jurang, kanan jalur pun juga jurang yang dibawahnya terdapat danau Segara Anak. Lalu kami mulai memasuki hutan. Jalur di dalam hutan ini persis seperti jalur menuju Plawangan Sembalun. Banyak tali webbing dan tangga darurat di beberapa titik yang curam.
Sekitar pukul 04.00 WITA kami sampai di ujung hutan. Jalur pendakian menuju puncak Rinjani kini tinggal meniti punggungan yang panjang. Semakin pagi, semakin udara dingin menerpa tubuh kami. Beberapa kali kami sembunyi di balik bebatuan besar untuk menghindar dari angin. Pukul 04.30 WITA kami istirahat sejenak untuk ibadah subuh. Jalur yang kami lewati kini berupa pasir dan kerikil-kerikil kecil. Sepanjang perjalanan kami jumpai beberapa pendaki yang istirahat bahkan tertidur di jalur pendakian.
Pukul 06.00 WITA kami masih jauh dari puncak Rinjani. Matahari sudah menampakkan sinarnya dari arah timur. Udara yang tadinya dingin, berangsur-angsur menghangat. Di sisi kanan jalur mulai jelas danau Segara Anak, samar-samar tertutup bayangan puncak Rinjani. Rasa kantuk dan lelah mulai menyerang tubuh. Elevasi jalur semakin curam dan berpasir. Terlihat di kejauhan banyak pendaki sedang menaklukan "letter E", bagian jalur yang menyerupai angka 3 terbalik. Pukul 07.00 WITA kami mulai berjumpa pendaki yang turun dari arah puncak. Ada yang sudah sampai puncak, namun banyak juga yang menyerah di tengah jalan dan memutuskan untuk turun saja. Kami sempat berbincang dengan seorang guide. Menurut beliau, ketika pendaki sampai di awal Letter E, disitulah mental diuji, akankah dia akan melanjutkan perjalanan, atau menyerah dan kembali turun. Kami tertegun sejenak mendengar penjelasan itu.
Sekitar pukul 07.30 WITA, kami sampai di Letter E. Tanpa pikir panjang, kami melanjutkan langkah kaki kami. Jika kalian pernah mendaki puncak Semeru, nah seperti itulah gambaran level kesulitan jalur Letter E. Pasir yang dalam sering membuat langkah kami terhambat, naik 2 langkah turun 1 langkah. Hari semakin siang dan cahaya matahari kian terik. Semakin banyak kami jumpai para pendaki yang menuruni jalur. "Semangat mas mbak, tinggal dikit lagi kok, jangan menyerah" kurang lebih seperti itulah sapaan yang kerap dilontarkan mereka. Salah satu dari mereka juga bilang, "Ayo mas, jangan sampe kalah sama kabut. Ntar view danaunya ketutupan kabut kalo kesiangan". Sontak jadi kepikiran sepanjang jalan, sesekali menengok ke belakang. Kalau sampai puncak tapi danaunya ketutupan kabut ya sayang dong.
Pada pukul 9.20 WITA akhirnya kami sampai di puncak Rinjani. Alhamdulillah, kami mengucap syukur karena masih diberikan kekuatan fisik dan mental sehingga mampu menapakkan kaki kami di Gunung berapi tertinggi nomor 2 se-Indonesia. Kami duduk di antara pendaki lain yang sudah dulu sampai puncak sebelum kami, meluruskan kaki-kaki kami, sambil menepuk-nepuk kecil lutut yang pegal. Selain menunggu pendaki lain yang asyik berswafoto di hotspot puncak rinjani, kami tertegun merenung tidak menyangka bisa berjalan sekuat dan sejauh ini. Sejak kuliah, sudah belasan gunung yang pernah berhasil saya daki, bahkan beberapa diantaranya adalah gunung tertinggi di pulau Jawa, namun baru kali ini merasakan summit attack yang paling emosional. Perasaan lelah, kesal, dan juga kasihan melihat istri berjuang menaklukan puncak Rinjani. Beberapa kali istri menyuruhku untuk lanjut sendirian menuju puncak, sedangkan dia ingin menunggu di jalur. Beberapa kali istri juga menangis karena kesal kenapa jalurnya begitu sulit dan tidak sampai-sampai tujuan. Saat itu aku hanya bisa menepuk punggungnya sambil menyemangatinya dengan lirih. Mau sekeras apapun usaha yang kita lakukan untuk menggerakkan orang lain, kalau diri sendiri enggan untuk bergerak, maka hasilnya akan sama saja, sia-sia. Kami mengambil beberapa foto di puncak dan memakan bekal yang kami bawa.
Setelah satu jam berswafoto, kami turun menuju Plawangan Sembalun. Terik matahari membuat kami pusing selama perjalanan. Saat memasuki hutan, kami sempat salah menuruni cerukan, sehingga membuat kami kehilangan jalan. Untung kami bertemu seorang guide yang melihat kami dari atas. Kami disuruh untuk menerobos jalan menuju ke arah jalur yang sebenarnya. Kata beliau, banyak pendaki yang tersesat di persimpangan itu. Jalur tadi adalah jalur air dan berujung ke jurang, sehingga membuat siapapun yang tersesat harus kembali naik ke atas untuk putar jalur. Akhirnya kami sampai di tenda kami. Kami kelelahan dan perut sudah lapar. Kami segera memasak air dan h-eat. Kami beristirahat dan memutuskan untuk menginap satu malam lagi di Plawangan Sembalun dan berjalan turun ke basecamp Sembalun esok harinya. Kami juga sepakat untuk tidak jadi turun ke danau Segara Anak. Puncak Rinjani sudah kami rasa cukup untuk menguji fisik dan mental kami.
Perjalanan ke Rinjani kali ini mengajarkan kami bahwa persiapan fisik yang kami bawa ternyata masih kurang. Selain itu, pilihan menyewa porter adalah pilihan paling krusial namun tidak kami ambil. Kami kewalahan membawa dan membagi barang bawaan dengan tas yang terbatas. Dan dampak dari itu semua adalah kami berada di Taman Nasional Gunung Rinjani selama 3 hari 2 malam, tetapi tidak sempat berkunjung ke danau Segara Anak. Ah sudahlah, tidak apa, kalau sekarang yang diingat adalah bagian senangnya saja. Suasana, kultur budaya, bahasa, jauhnya perjalanan, dan yang paling utama adalah pengalaman. Rinjani adalah gunung tercantik yang pernah saya kunjungi, setelah gunung Semeru di Jawa Timur. Tak heran bahwa seluruh pendaki di Indonesia pasti mendambakan datang ke Rinjani.
Terakhir, saya kembali membuktikan bahwasanya, "Tidak ada yang tidak mungkin, hanya pikiran yang membatasi". Kalimat yang pernah menjadi doktrin ketika saya menjadi seorang mahasiswa pecinta alam. Saya percaya bahwa kekuatan hati dan pikiran akan berpengaruh besar kepada kekuatan fisik. Tapi bukan berarti persiapan fisik menjadi disepelekan. Dan sejatinya perjalanan ini adalah bukan tentang menaklukkan tingginya gunung Rinjani, melainkan menaklukkan diri sendiri. Tamat.
Komentar
Posting Komentar