Ada satu momen yang berhasil membuatku jadi merasa menjadi seorang pecundang. Momen tersebut berasal dari ucapan adik tingkat di kampus yang tengah kuajak ngobrol tentang kepemimpinan. Sedihnya adalah waktu itu aku adalah seorang yang dipercayai sebagai seorang pemimpin organisasi, sedangkan adik tingkatku ini adalah salah satu kandidat pemegang amanah selanjutnya untuk menjadi pemimpin organisasi ini.
"Menurutmu, seorang pemimpin itu harus idealis atau realistis?" Aku bertanya.
Aku adalah seorang yang memiliki kombinasi otak kiri yang lebih dominan ditambah dengan sifat pemalas. Sehingga dari pertanyaan diatas aku cenderung berpendapat pemimpin realistis adalah lebih baik daripada yang idealis. Dan bukan cuma aku, mungkin dari 4 dari 5 orang yang pernah kuajak ngobrol tentan hal ini sepakat kalau pemimpin harus realistis. Kenapa? Karena seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas segala bentuk program yang organisasi jalankan. Daripada gagal menjalankan sesuatu yang "idealis", alangkah baiknya kita banyak melakukan perhitungan sana-sini sehingga pada akhirnya jalankan apa yang "realistis" dan yang pasti berhasil saja.
"Menurutku harus idealis kak" jawabnya.
"Oh iya? kenapa kok begitu?" tanyaku kembali.
"Seorang pemimpin itu harus punya tujuan, visi yang jelas, dan berani mengambil keputusan serta resikonya. Pemimpin yang idealis akan membawa perubahan kepada organisasi dan orang-orang yang akan dia pimpin. Pemimpin yang idealis akan mengantarkan kita ke tempat-tempat yang mungkin selama ini kita gak pernah bayangkan sebelumnya, ke tujuan-tujuan yang kita anggap selama ini mustahil untuk dicapai. Kalau hanya mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan sebelumnya, sepertinya kurang pantas dianggap sebagai pemimpin" jelasnya.
Waktu sore itu terasa berhenti sejenak setelah mendengar apa yang adik tingkatku sampaikan. Butuh sekian waktu untuk mencerna maksud dari jawaban tersebut sekaligus memvalidasi apa yang sedang kurasakan saat itu. Aku kaget, syok, karena jawaban yang kudengar tidak seperti apa yang kuekspektasikan sebelumnya. Aku pun bangga karena mengetahui ternyata ada adik tingkatku yang isi kepalanya kurasa dapat menjadi sesuatu yang berharga untuk organisasi ini. Dan aku sedih, karena baru di akhir periode kepengurusan yang kujalani ini, aku baru sadar bahwa aku tidak membawa perubahan sama sekali di organisasi ini.
Pengalaman tersebut menjadikanku mengerti kenapa Ir. Soekarno bisa membuat bangsa ini merdeka, kenapa Iganius Jonan mampu memperbaiki sistem tranportasi Kereta Api Indonesia, bahkan baru-baru ini bertemu kakak tingkat yang kenapa seluruh pegawai mulai dari pimpinan sampai anak baru semuanya sedih ketika dia dimutasi ke daerah lain.
Persamaan dari ketiga sosok diatas adalah mereka tidak bangun tidur, menikmati kebiasannya, menikmati jabatannya yang sedang diemban, melakukan bussiness as usual, lalu kembali tidur untuk istirahat. Namun, mereka peduli dengan apa yang ada di sekitarnya dan mau melakukan perubahan untuk kebaikan organisasi maupun orang-orang di sekelilingnya.
Aku penasaran endorfin sebanyak apa yang Ir. Soekarno dapatkan selepas detik-detik kemerdekaan negara Indonesia. Kepuasan seperti apa yang Ignasius Jonan rasakan ketika sistem perkeretaapian Indonesia menjadi jauh lebih modern, lebih efektif dan efisien, serta penuh dengan banjir pujian dari pengguna moda transportasi kereta api.
Sayangnya, akhir-akhir ini justru semakin banyak energi negatif yang lebih sering kulihat, kudengar, baik secara langsung maupun dari media sosial daripada hal-hal yang memotivasi untuk menjadi orang yang lebih baik. Bekerja jadi kurang semangat, melaksanakan tugas yang penting asal jadi, dan lain sebagainya. Entahlah, rasanya ingin kembali ke masa-masa saat banyak dikelilingi oleh lingkungan yang penuh semangat, menyenangkan, dan bisa menularkan energi positif satu sama lain.
Salam spesial buat yang ngerti-ngerti aja, semoga kalian tetap jadi orang yang bermanfaat dan menyenangkan dimanapun kalian berada.
Ambon, 13 Desember 2022
Komentar
Posting Komentar